Ketidakadilan Sosial
Oleh William Chang
KESADARAN batiniah akan ketidakadilan sosial telah mendorong the founding fathers negara kita untuk membidani kelahiran Indonesia, Nusantara. Pembentukan kelas-kelas sosial dalam masyarakat, misalnya, telah diabadikan dalam Staatsblad 1849-25 Tahun 1849 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa; Staatsblad 1917-130 Tahun 1917 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Timur Tionghoa; Staatsblad 1920-751 Tahun 1920 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Islam; dan Staatsblad 1933 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Kristen di Indonesia dalam membuat akta lahir, kawin, cerai, dan kematian. Jenis-jenis peraturan yang dinilai berbau diskriminatif dan tidak adil ini masih diteruskan oleh penyelenggara negara RI. Tak heran, dalam konteks reformasi hukum, peraturan-peraturan itu pernah diusulkan supaya dicabut.
Warisan peraturan kolonial ini menimbulkan peng-kotak-kotak-an sosial yang merambat ke dalam hampir semua bidang hidup sosial. Sekat-sekat sosial diperkuat oleh sistem sosial produk zaman kolonial. Birokrasi, sistem dan manajemen tak adil diteruskan. Dalam permenungan akhir tahun, kalangan praktisi dan pengamat hukum prihatin menyaksikan perjalanan dan perbaikan sistem hukum positif di negara kita dalam era reformasi ini. Pembaharuan hukum dalam negara kita bisa dikatakan tak mengalami perkembangan.
Kemunduran dalam penegakan hukum positif, antara lain, tercermin dari metode penanganan kasus Tommy Soeharto yang pernah melarikan diri dari tahanan dan terbangnya dua jaksa penyidik ke Negeri Jerman untuk menjumpai mantan Presiden BJ Habibie. Dominasi unsur politik dalam dunia hukum kian kentara. Ketidakpastian hukum menimbulkan sikap skeptis masyarakat. Rasa pesimistis muncul bila berbicara tentang penegakan keadilan dalam dunia hukum positif. Tubuh peradilan kita dilanda iudicium corruption sedang berlangsung dan diperkirakan masih akan berlangsung dalam penanganan sejumlah kasus hukum yang dianggap "akbar" oleh bangsa kita (bdk. BBC London, 19/12/2001, pukul 20.30 WIB).
Ketidakadilan hukum merambat ke bidang politik, ekonomi, agama, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Politisasi hukum positif tak terhindarkan. Sistem monopoli (dalam banyak bidang hidup) masih berkembang di negara kita. Agama dijadikan institusi konfliktual. Pendidikan seakan hanya dimiliki anak-anak berduit, penguasa, dan berkedudukan sosial tinggi. Seakan hanya orang kaya, penguasa, dan berkedudukan tinggi bisa ditangani oleh berpuluh-puluh dokter. Tidak sedikit rakyat jelata menderita sengsara karena tak bisa mendapat pelayanan seorang dokter. Harga obat acapkali mencekik! Hak-hak istimewa diterima kelompok sosial yang dipandang lebih tinggi.
DISKRIMINASI dan ketidakadilan bisu ini hidup lama dalam tubuh bangsa kita. Jeritan demi jeritan dibiarkan dan tidak didengarkan penguasa dan pengendali negara kita. Keadaan ini membuat suasana sosial kian tak adil dan kian menyedihkan. Frustrasi sosial sebagai akibat ketidakadilan sosial ini bisa mengundang aneka bentuk reaksi sosial yang merugikan kesejukan hidup di masyarakat. Benturan dan konflik sosial sedikit banyak bisa dipicu iklim ketidakadilan sosial, termasuk ketidakadilan dalam bidang hukum.
Perbedaan kelas sosial dalam masyarakat kian menonjol. Kesenjangan hubungan antarpribadi dan kelas sosial, sadar atau tidak, kian lebar. Manusia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan yang tidak lagi menjunjung tinggi nilai keadilan (sosial) dan kesederajatan. Terlepas dari nilai keadilan yang tertanam dan terwujud selama ini, generasi sekarang adalah produk generasi terdahulu yang menghidupi ketidakadilan sosial. Warisan ketidakadilan disosialisasi kepada generasi sekarang. Kebencian sosial dan perilaku tidak adil diwariskan kepada generasi berikut tanpa alasan yang dapat diterima akal sehat. Hanya gara-gara dilahirkan dari keturunan golongan "eks" maka dia memiliki privilese dan perlakuan istimewa di bidang hukum. Sementara itu, anak-anak keturunan orang-orang yang dianggap terlibat kasus G30S/PKI mendapat perlakuan diskriminatif.
Penentuan kelas-kelas sosial terkait dengan pembentukan gradasi dalam nilai kemanusiaan, yang pada dasarnya bertolak belakang dengan cita-cita dalam Sila Kedua pandangan hidup bangsa kita. Kemanusiaan yang dicita-citakan para pendiri negara kita adalah kemanusiaan yang adil dan sesuai norma-norma keadilan. Dalam kenyataan, nilai dasar kemanusiaan manusia masih ditakar berdasar warna kulit, bahasa, dan status sosial seseorang. Peng-kotak-kotak-an di bidang hukum positif mengakibatkan peng-kotak-kotak-an di bidang kemanusiaan. Secara tak langsung, peng-kotak-kotak-an sosial itu telah merembes ke dalam darah daging manusia.
Proses "stigmatisasi" sosial yang umumnya mengandalkan pandangan klise, dari satu sisi, cenderung mendiskreditkan atau memperlakukan seseorang dengan sistem peng-kotak-an yang dianggap tidak adil. Pandangan ini terformat sedemikian rupa, sehingga manusia mewarisi bingkai pemikiran apriori kala berhadapan dengan individu atau kelompok sosial tertentu. Pandangan dan pendekatan apriori ini acapkali jatuh ke lembah ketidakadilan yang cenderung menguntungkan satu pihak. Stigmatisasi ini terkait pandangan statis yang terkait dengan pelestarian status quo golongan sosial tertentu. Dinantikan kebudayaan reformatif dalam menghadapi pandangan stereotip ini.
Kesadaran batiniah dan cita-cita dasar the founding fathers untuk menegakkan keadilan sosial perlu segera dikumandangkan kembali oleh penguasa negeri ini dalam penanganan kasus-kasus berbau KKN. Keadilan (bukan sekadar "rasa") seharusnya melandasi tiap langkah prosedural dunia hukum kita tanpa menyertakan kepentingan-kepentingan terselubung di balik suatu pembedahan kasus hukum.
Kedatangan "Ratu Adil" sedang dinantikan. Kasus-kasus "akbar" yang sedang ditangani, seperti Kasus Buloggate II, bintang narapidana yang pernah melarikan diri, dan deretan kasus kakap berbau KKN sedang mendapat sorotan tajam pakar hukum dan seluruh bangsa. Suara-suara rakyat yang dinilai adil, sepatutnya mendapat perhatian para penegak hukum di negara kita. Ganjaran apakah yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar hukum? Adilkah keputusan itu?
Negeri kita, sejak zaman penjajahan bahkan dalam beberapa dekade terakhir, sudah ditindak ketidakadilan sosial. Apakah para penguasa era roformasi ini masih akan membiarkan ketidakadilan sosial bertumbuh di negara kita? Kita tunggu dan saksikan suara wakil rakyat di DPR, langkah-langkah dan keputusan-keputusan hukum yang akan diambil para "penegak" keadilan dalam menghadapi kasus-kasus "akbar" negeri kita. "Sang Hakim Agung" yang teradil akan menunggu semua manusia, termasuk para polisi, jaksa, dan hakim yang bertanggung jawab menegakkan keadilan di atas permukaan bumi.
* William Chang, pengamat sosial tinggal di Pontianak.
Sumber: http://els.bappenas.go.id/upload/other/Ketidakadilan%20Sosial.htm
21.29
OMezzo
Posted in


0 komentar:
Posting Komentar