Rabu, 22 September 2010

Kiprah Ilmuwan Indonesia di Pentas Dunia

( Picture source : www.biojobblog.com )
ilmuwan hebat Indonesia krisis minyak, krisis listrik, eksportir TKI bla bla bla…. Kayaknya ga banyak berita baik tentang negeri tercinta ini. Kata siapa? Diam-diam namun pasti putra-putri terbaik bangsa ini menorehkan pena emas di panggung dunia. Tidak sedikit yang berhasil menjadi ilmuwan, pengusaha, bahkan olahragawan. Bahkan terakhir salah satu pemenang Imagine Cup di Paris adalah orang indonesia, Tim Antarmuka dari ITB (lihat di sini) Berikut adalah kiprah ilmuwan Indonesia di dunia (siapa tahu si penemu blue energy bisa dimasukkan kesini hehehe).



Profesor Ken Soetanto, Kisah Ilmuwan dengan gaji 144 milyar per tahun

(27 Juni 2005 02:21) , ditulis oleh Sumatera Ekspres

JAKARTA – Prestasi membanggakan ditorehkan Prof Ken Soetanto. Warga Surabaya ini menggondol gelar profesor dan empat doktor selama bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di Jepang. Hebatnya lagi, prestasi akademiknya tersebut diakui di Jepang dan AS dengan
menjadi profesor di usia 37 tahun.

Pada 1988-1993, Soetanto yang juga direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) ini menjadi asosiate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, USA. Ia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering Program University
of Yokohama (TUY).

Saat ini pria beristri juga perempuan Surabaya ini tercatat sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, dan profesor tamu di Venice International University, Italia.

Gelar itu dirangkap dengan jabatan wakil dekan di Waseda University. Kemampuan otak pria kelahiran 1951 ini sungguh brilian karena mampu menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Itu terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang Applied Electronic Engineering di Tokyo Institute of Technology, Medical Science dari Tohoku University, dan Pharmacy Science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar Waseda University.

”Saya sungguh menikmati dengan pekerjaan sebagai akademisi,” tutur Soetanto dalam wawancara khusus dengan koran ini di President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu. Soetanto kebetulan berada di Indonesia untuk mendampingi Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University) dalam penandatanganan MoU antara President University dan Waseda University. President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Sebagian mahasiswa President University berasal dari Cina, Vietnam, dan Jepang.

Di luar status kehormatan akademik itu, Soetanto juga masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan presiden RI BJ Habibie ini ini tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Japanese Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI). Selain itu juga ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan menjadi Japanese Government 21st Century Vision.

”Pada jabatan tersebut saya berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,” tutur Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa berlogat Suroboyoan ini. Buah pemikiran Soetanto yang terkenal adalah konsep pendidikan “Soetanto Effect” dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.

Dan, mau tahu berapa Soetanto digaji? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademisi bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mengganjar Soetanto dengan gaji US$ 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun. Sungguh “perhatian” dari pemerintah yang luar biasa!

Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan di SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolahan warga keturunan Tionghoa.

Kritik pendidikan RI
Seusai menandatangani MoU, Soetanto memberikan ceramah akademik popular di hadapan ratusan mahasiswa President University. Isi ceramahnya menarik perhatian mahasiswa bahkan beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeber pengalamannya bisa “menaklukkan” dunia perguruan tinggi Jepang kendati dirinya hingga sekarang masih berkewarganegaraan Indonesia. Apalagi, dirinya berasal dari Kota Surabaya yang nyaris tak diperhitungkan di dunia akademisi Jepang.

Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dibenahi untuk menghasilkan produk berkualitas. ”Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam,” jelas Soetanto dengan gaya bicara berapi-api. Yang ironis, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. ”Dan, karena faktor tersebut jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,” pungkas Soetanto. Kendati demikian, pria berkaca mata ini awalnya belajar ke Jepang bukan untuk semata-mata untuk mengejar materi alias duit.

Siapa bilang gaji seoramh Ilmuwan atau peneliti itu kecil? Ternyata ada juga orang seperti bapak ken Soetanto ini. Sayangnya apabila beliau berkerja di negeri sendiri mungkin beliau akan disia-siakan. begitulah nasib peneliti di negeri ini gaji kecil dan tidak dihargai.

Nelson Tansu, Profesor Termuda asal Indonesia di Lehigh University, AS

(Jawa Pos 6 Maret 2004, Ramadhan Pohan)

Jago Seminar di Mancanegara, tapi Dikira Mahasiswa S-1

Banyak orang di berbagai penjuru dunia yang berusaha menggapai mimpi Amerika. Salah seorang yang berhasil merengkuhnya adalah warga negara Indonesia. Dia bernama Nelson Tansu. Di AS, dia termasuk ilmuwan ternama dengan tiga hak paten di tangannya. NAMA lengkapnya adalah Prof Nelson Tansu PhD. Setahun lalu, ketika baru berusia 25 tahun, dia
diangkat menjadi guru besar (profesor) di Lehigh University, Bethlehem, Pennsylvania 18015, USA. Usia yang tergolong sangat belia dengan statusnya tersebut.

Kini, ketika usianya menginjak 26 tahun, Nelson tercatat sebagai profesor termuda di universitas bergengsi wilayah East Coast, Negeri Paman Sam, itu. Sebagai dosen muda, para mahasiswa dan bimbingannya justru rata-rata sudah berumur. Sebab, dia mengajar tingkat master (S-2), doktor (S-3), bahkan post doctoral.

Prestasi dan reputasi Nelson cukup berkibar di kalangan akademisi AS. Puluhan hasil risetnya dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional. Dia sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di berbagai seminar. Paling sering terutama menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan intelektual, konferensi, dan seminar di Washington DC. Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS. Bahkan, dia sering pergi ke mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia.

Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Di tengah kesibukannya melakukan riset-riset lainnya, dua buku Nelson sedang dalam proses penerbitan. Bukan main. Kedua buku tersebut merupakan buku teks (buku wajib pegangan, Red) bagi mahasiswa S-1 di Negeri Paman Sam.

Karena itu, Indonesia layak bangga atas prestasi anak bangsa di negeri rantau tersebut. Lajang kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, itu sampai sekarang masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendati belum satu dekade di AS, prestasinya sudah segudang. Ke mana pun dirinya pergi, setiap ditanya orang, Nelson selalu mengenalkan diri sebagai orang Indonesia. Sikap Nelson itu sangat membanggakan di tengah banyak tokoh kita yang malu mengakui Indonesia sebagai tanah kelahirannya.

“Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan, saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia,” katanya, serius.

Di Negeri Paman Sam, kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap sebagai terkorup di Asia tersebut dikonkretkan dengan memperlihatkan ketekunan serta prestasi kerjanya sebagai anak bangsa. Saat berbicara soal Indonesia, mimik pemuda itu terlihat sungguh-sungguh dan jauh dari basa-basi.

“Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja keras,” kata Nelson menjawab koran ini.

Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah pasangan Iskandar Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan.

Posisi resmi Nelson di Lehigh University adalah assistant professor di bidang electrical and computer engineering. Di AS, itu merupakan gelar untuk guru besar baru di perguruan tinggi. “Walaupun saya adalah profesor di jurusan electrical and computer engineering, riset saya sebenarnya lebih condong ke arah fisika terapan dan quantum electronics, ” jelasnya.

Sebagai cendekiawan muda, dia menjalani kehidupannya dengan tiada hari tanpa membaca, menulis, serta melakukan riset. Tentunya, dia juga menyiapkan materi serta bahan kuliah bagi para mahasiswanya. Kesibukannya tersebut, jika meminjam istilah di Amerika, bertumpu pada tiga hal. Yakni, learning, teaching and researching. Boleh jadi, tak ada waktu sedikit pun yang dilalui Nelson dengan santai. Di sana, 24 jam sehari dilaluinya dengan segala aktivitas ilmiah. Waktu yang tersisa tak lebih dari istirahat tidur 4-5 jam per hari.

Anak muda itu memang enak diajak mengobrol. Idealismenya berkobar-kobar dan penuh semangat. Layaknya profesor Amerika, sosok Nelson sangat bersahaja dan bahkan suka merendah. Busana kesehariannya juga tak aneh-aneh, yakni mengenakan kemeja berkerah dan pantalon.

Sekilas, dia terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering tersembunyi di balik penampilannya yang seperti tak suka bicara. Tapi, ketika dia mengajar atau berbicara di konferensi para intelektual, jati diri akademisi Nelson tampak. Lingkungan akademisi, riset, dan kampus memang menjadi dunianya. Dia selalu peduli pada kepentingan serta dahaga pengetahuan para mahasiswanya di kampus.

Ada yang menarik di sini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak sedikit insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.

“Di semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, saya mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang semiconductor device physics. Begitulah,” ungkap Nelson menjawab soal kegiatan mengajarnya.

September hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar Nelson sudah menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology.

“Selain mengajar kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini,” jelasnya saat ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.

Nelson termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American dream). Banyak imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu dengan segala persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam tersebut, ada cerita sukses seperti aktor yang kini menjadi Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang sebenarnya adalah imigran asal Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker Bush sekarang juga ada imigrannya, yakni Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal Taipei tersebut merupakan wanita pertama Asian-American yang menjadi menteri selama sejarah AS.

Negara Superpower tersebut juga sangat baik menempa bakat serta intelektual Nelson. Lulusan SMA Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli 1995. Di sana, dia menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di University of Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang applied mathematics, electrical engineering and physics. Sedangkan untuk PhD, dia mengambil bidang electrical engineering.

Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua suksesnya itu tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya mengenai siapa yang paling berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan kakeknya. “Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih kecil sekali,” ujarnya.

Ada kisah menarik di situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya sering membanding-bandingk an Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya. Waktu akhirnya menjawab imipian Nelson tersebut.

“Jadi, terima kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu,” ungkapnya.

Nelson mengaku, mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin belajarnya. “Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam melakukan sesuatu,” jelasnya.

Sisihkan 300 Doktor AS, tapi Tetap Rendah Hati Nelson Tansu menjadi fisikawan ternama di Amerika. Tapi, hanya sedikit yang tahu bahwa guru besar belia itu berasal dari Indonesia. Di sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada hubungan famili dengan mantan PM Turki Tansu Ciller. Benarkah?

NAMA Nelson Tansu memang cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak mengindikasikan identitas etnis, ras, atau asal negeri tertentu. Karena itu, di Negeri Paman Sam, banyak yang keliru membaca, mengetahui, atau berkenalan dengan profesor belia tersebut.

Malah ada yang menduga bahwa dia adalah orang Turki. Dugaan itu muncul jika dikaitkan dengan hubungan famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri (PM) Turki. Beberapa netters malah tidak segan-segan mencantumkan nama dan kiprah Nelson ke dalam website Turki. Seolah-olah mereka yakin betul bahwa fisikawan belia yang mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang berasal dari negerinya Kemal Ataturk.

Ada pula yang mengira bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah terang-terangan melamar Nelson dan meminta dia “kembali” mengajar di Jepang. Seakan-akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu.

Dilihat dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah Nelson yang seperti orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak profesor yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang-jarang memang asal Indonesia. Nelson pun hanya senyum-senyum atas segala kekeliruan terhadap dirinya.

“Biasanya saya langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli Indonesia. Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada profesor asal aslinya dari Indonesia,”jelas Nelson.

Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang, nenek moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika lahir, Nelson sudah diberi nama belakang “Tansu”, sebagaimana ayahnya, Iskandar Tansu.

“Saya suka dengan nama Tansu, kok,”kata Nelson dengan nada bangga.

Nelson adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia akademisinya. Orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi Nelson sendiri. Kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat beasiswa universitas.

“Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan di universitas, ” katanya.

Orang seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit memenangi berbagai beasiswa. Jika dihitung-hitung, lusinan penghargaan dan anugerah beasiswa yang pernah dia raih selama ini di AS.

Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang sudah menjadi cita-cita dia sejak lama. Walau demikian, posisi assistant professor (profesor muda, Red) tak pernah terbayangkannya bisa diraih pada usia 25 tahun. Coba bandingkan dengan lingkungan keluarga atau masyarakat di Indonesia, umumnya apa yang didapat pemuda 25 tahun?

Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena umum. Bayangkan, pada usia semuda itu, dia menyandang status guru besar. Sehari-hari dia mengajar program master, doktor, dan bahkan post doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1 dalam proses penerbitan.

Tapi, bukan Nelson Tansu namanya jika tidak santun dan merendah. Cita-citanya mulia sekali. Dia akan tetap melakukan riset-riset yang hasilnya bermanfaat buat kemanusian dan dunia. Sebagai profesor di AS, dia seperti meniti jalan suci mewujudkan idealisme tersebut.

Ketika mendengar pengakuan cita-cita sejatinya, siapa pun pasti akan terperanjat. Cukup fenomenal. “Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat. Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil,” ujarnya dengan mimik serius.

Tapi, orang bakal mahfum jika melihat sejarah hidupnya. Ketika usia SD, Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata sudah diakrabi Nelson cilik.

“Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu,” jelas Nelson penuh kagum.

Nelson jadi profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh, Nelson terlebih dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume
(CV)-nya juga hebat-hebat. “Seleksinya ketat sekali, sedangkan posisi yang diperebutkan hanya satu,” ujarnya.

Lelaki penggemar buah-buahan dan masakan Padang itu mengaku lega dan beruntung karena dirinya yang terpilih. Menurut Nelson, dari segi gaji dan materi, menjadi profesor di kampus top seperti yang dia alami sekarang sudah cukup lumayan. Berapa sih lumayannya?

“Sangat bersainglah. Gaji profesor di universitas private terkemuka di Amerika Serikat adalah sangat kompetitif dibandingkan dengan gaji industri. Jadi, cukup baguslah, he… he… he..,” katanya, menyelipkan senyum.

Riwayat hidup dan reputasinya memang wow. Nelson sempat menjadi incaran dan malah “rebutan” kalangan universitas AS dan mancanegara. Ada yang menawari jabatan associate professor yang lebih tinggi daripada yang dia sandang sekarang (assistant professor). Ada pula yang menawari gaji dan fasilitas yang lebih heboh daripada Lehigh University. Tawaran-tawaran menggiurkan itu datang dari AS, Kanada, Jerman, dan Taiwan serta berasal dari kampus-kampus top.

Semua datang sebelum maupun sesudah Nelson resmi mengajar di Lehigh University. Tapi, segalanya lewat begitu saja. Nelson memilih konsisten, loyal, dan komit dengan universitas di Pennsylvania itu. Tapi, tentu ada pertimbangan khusus yang lain.

“Saya memilih ini karena Lehigh memberikan dana research yang sangat signifikan untuk bidang saya, semiconductor nanostructure optoelectronic devices. Lehigh juga memiliki leaderships yang sangat kuat dan ambisinya tinggi menaikkan reputasinya dengan memiliki para
profesor paling berpotensi dan ternama untuk melakukan riset berkelas dunia,”papar pengagum John Bardeen, fisikawan pemenang Nobel itu.

Perusahaan-perusaha an industri Amerika juga menaruh minat dan mengiming-imingi Nelson dengan gaji dan fasilitas menggiurkan. Itu pun dia tampik.

“Bukan apa-apa. Saya memang tidak tertarik untuk masuk ke industri. Seperti saya bilang tadi, profesor sudah cita-cita saya. Lagi pula, kompensasi finansial yang diberikan Lehigh memang sudah bagus banget dan saya happy,” tuturnya.

Nelson tinggal di sebuah apartemen yang tak jauh dari kampusnya mengajar. Dia tinggal sendiri. Karena itu, semua urusan rumah dan segala keperluannya dilakukan sendiri.

Ditanya soal pacar, Nelson tersipu-sipu dan mengaku belum punya. Padahal, secara fisik, dengan tinggi 173 cm, berat 67 kg, dan wajah yang cakep khas Asia, Nelson mestinya gampang menggaet (atau malah digaet) cewek Amerika. Banyak kriteria kah?

“Ha… ha… ha…. Pertama, saya ini nggak ganteng ya. Tapi, begini, mungkin karena memang belum ketemu yang cocok dan jodoh saja. Saya sih, kalau bisa, ya dengan orang Indonesia-lah. Saya sih nggak melihat orang berdasarkan kriteria macem-macem. Yang penting orangnya baik,
pintar, bermoral, pengertian, dan mendukung,” paparnya panjang lebar, geli karena topik pembicaraan menyimpang dari dunia fisikanya ke soal wanita.

Nelson hampir tiap tahun pulang ke Medan, bertemu orang tuanya dan teman-teman lamanya. Pemilik email tansu@lehigh. edu dan alamat alamat website http://www3.lehigh.edu/ engineering/ ece/tansu. asp itu dengan segudang prestasi dan reputasnya memang membanggakan Indonesia. (*)

Sekali lagi sangat jarang kita temui orang seperti Nelson Tansu ini. Memilki idealisme yang tinggi dan masih mencintai tanah airnya sekalipun sudah berkerja di tanah orang. Hmmm… Kapan ya profesi seperti ilmuwan dihargai di bangsa sendiri?


Dr Warsito, Penemu Volume Tomography incaran Shell dan ExxonMobil

Di AS, ada sebuah lembaga penelitian bernama Industrial Research Consortium di Ohio State University. Beberapa perusahaan minyak raksasa seperti ExxonMobil dan Shell menggunakan jasa lembaga itu. Di antara 15 peneliti di sana, ada nama Warsito, satu-satunya dari Indonesia.

PENAMPILANNYA low profile. Sekilas, mungkin orang tak akan menyangka bahwa pria 39 tahun tersebut mempunyai prestasi yang tak bisa dianggap remeh. Dialah Warsito. “Nama saya memang hanya itu,” kata pria berkacamata minus tersebut ketika ditanya nama lengkapnya.

Sabtu siang lalu, dia sedang berada di Jakarta. Tepatnya, Warsito sedang mengikuti pertemuan di gedung Masyarakat Ilmuwan Teknologi Indonesia (MITI) di Jalan Duren III, Jakarta Selatan. “Setahun dua kali saya pulang ke Indonesia. Semua keluarga saya di sini (Jakarta),” ungkapnya.
Bagi dia, perjalanan hidupnya bagai mimpi. “Saya benar-benar tak menyangka bisa seperti sekarang ini,” ujarnya.

Sejak 1999, Warsito menjadi salah seorang peneliti Industrial Research Consortium, Ohio State University. Orang awam mungkin asing terhadap nama lembaga tersebut. Tapi, tidak demikian halnya dengan sejumlah perusahaan minyak raksasa di dunia. Misalnya, ExxonMobil, Conoco Phillips, dan Shell.

“Perusahaan-perusahaan itu selalu menggunakan hasil temuan para peneliti di lembaga penelitian tersebut,” jelasnya. Untuk bisa diterima di lembaga penelitian bergengsi di AS itu, Warsito mengandalkan hasil temuannya yang dinamai Volume Tomography.

“Itu adalah instrumen untuk melihat bagian dalam sebuah pipa pengilangan minyak saat pengilangan minyak berlangsung. Dengan alat tersebut, bagian dalam pipa bisa dilihat secara tembus pandang dalam empat dimensi,” jelasnya.

Itu hanya salah satu di antara empat karya Warsito yang sudah dipatenkan. Saat ini, lanjut dia, Volume Tomography yang dipatenkan pada 2001 tersebut juga digunakan Department of Energy USA. Bahkan, dia kini sedang bernegosiasi dengan Shell, perusahaan minyak raksasa yang berpusat di Denhaag, Belanda, yang melirik instrumen temuannya tersebut. “Selain itu, perusahaan seperti ExxonMobil serta Dow Chemical sering bekerja sama untuk penelitian di bidang perminyakan. Termasuk, memberikan grant (bantuan, red),” katanya.

Awal bergabung di lembaga penelitian AS tersebut, Warsito mengaku sempat minder. Maklum, syarat yang dipatok bagi peneliti dari negara lain cukup tinggi. Di antaranya, harus ber-IPK minimal 3,8 dan TOEFL score 650.

Beruntung, jalan ayah empat anak itu terbilang cukup mulus. Berkat rekomendasi seorang profesor anggota National Academy of Engineering (penasihat kongres AS di bidang teknologi), dirinya bisa lolos dan terpilih menjadi salah satu di antara 15 peneliti di lembaga tersebut.

Menurut dia, sebagian besar yang menjadi peneliti di lembaga tersebut adalah warga Tiongkok dan India. “Herannya, malahan tidak ada orang AS yang bisa lolos,” tegasnya.

Warsito menceritakan, awal pertemuannya dengan sang profesor terjadi ketika dirinya menyampaikan presentasi di sebuah konferensi internasional bidang reaktor di Amsterdam, Belanda. “Prof LS Fan namanya,” ungkapnya. Ketika itu, dirinya baru meraih gelar PhD di Shizuoka University, Jepang.

Memang, sebelum bergabung dengan Ohio State University, Warsito sudah 11 tahun berdomisili di Jepang. Perjalanannya menjadi seorang peneliti kelas dunia itu berawal saat dirinya berhasil lolos seleksi beasiswa Badan Penerapan dan Pengembangan Teknologi (BPPT) 1987. Selanjutnya, dia berhasil meraih beasiswa studi S-1, S-2, dan S-3 di Shizuoka University.

Sebelum ke Jepang, dia sempat mengenyam kuliah di jurusan teknik kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta. Tapi, baru sebulan duduk di bangku kuliah, dia harus keluar. Orang tua Warsito yang hanya petani kecil di Karanganyar, Solo, tak mampu membiayai kuliahnya. “Ayah dan ibu saya memang sudah mewanti-wanti bahwa hanya sanggup membiayai sekolah saya sampai SMA,” jelasnya.

Tapi, Warsito saat itu tak putus asa. Dia memutuskan menyusul kakaknya di Jakarta untuk meminta uang. Namun, bukan uang yang didapatkan. Sang kakak malah menyarankan agar dirinya berhenti kuliah. “Saya disuruh ikut tes di BPPT waktu itu,” ujarnya.

Ternyata, langkah kakinya berhijrah ke ibu kota menjadi titik awal keberhasilannya. Pria yang lahir di sebuah kota kecil di lereng Gunung Lawu tersebut akhirnya kini berhasil menjadi ilmuwan kelas dunia.

Sejauh pengamatan Warsito, memang banyak nasib ilmuwan, khususnya jebolan BPPT, yang tak seberuntung dirinya. Begitu pulang ke Indonesia, kata dia, tak sedikit temannya yang akhirnya “menganggur”. “Biasanya, teman-teman yang bernasib seperti itu menyebut dirinya mengalami brain drained (otaknya mengering, red),” katanya.

Karena itu, bersama rekannya sesama ilmuwan yang sempat mengenyam pendidikan di luar negeri, dia membentuk MITI. Wadah ilmuwan yang baru dibentuk sekitar dua tahun lalu tersebut mencoba memberdayakan para ilmuwan Indonesia.

Kenyataan bahwa para ilmuwan sering tidak “dipakai” di negeri sendiri tak mengurangi semangat Warsito dan teman-temannya untuk mencoba membantu memajukan dunia ilmu pengetahuan teknologi di Indonesia. Melalui MITI, mereka menjalin kerja sama dengan pihak asing untuk melakukan penelitian di dalam maupun luar negeri. “Tidak bekerja di Indonesia bukan berarti kami tidak cinta Indonesia,” tegasnya.(*)

Yang sedih apabila hasil penemua anak bangsa tidak bisa dipakai di negara sendiri. Fenomena Brain Drain emang normal buat negara-negara miskin tapi warganya cerdas-cerdas. Lihat saja India, Mengirim ratusan orang sejak dekade yang lalu untuk menjadi ahli IT hingga menjadi negara dengan infrastruktur IT seperti sekarang. masalahnya kita tidak bisa meniru India kecuali memilki bayangan yang jelas Indonesia mau ke arah mana. Nanoteknologikah? ITkah? ato pariwisata? dengan membuat batasan yang jelas kita bisa melihat kedepan dan terus maju.


Yogi Erlangga, Matematikawan Numerik Anak Tasik

Yogi Ahmad Erlangga (Istimewa) JAGOAN matematika Indonesia, Yogi Ahmad Erlangga, disebut sebagai matematikawan Belanda. Begitulah menurut situs ilmu dan teknologi www.physorg. com. Situs internet Amerika Serikat itu menulis kepala berita: “Dutch Mathematician Simplifies the Search for Oil” (Matematikawan Belanda Mempercepat Pencarian Minyak).

Judul berita tersebut membuat Yogi Ahmad Erlangga terhenyak. Sebab, yang disebut sebagai matematikawan Belanda itu tak lain adalah dirinya. “Saya bukan Belanda, melainkan asli urang Tasikmalaya, ” ujar Yogi, yang lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1974.

Rupanya, situs itu salah mengutip siaran pers Universitas Teknologi Delft, Belanda, tempat Yogi menyelesaikan studi doktor matematikanya. Memang, sebuah perguruan tinggi teknologi ternama itu, Desember silam, melansir berita keberhasilan Yogi memecahkan rumus matematika berdasarkan “Persamaan Helmholtz”.

Tak seperti biasanya, sidang ujian doktor di Delft kali ini berlangsung lebih lama. Saat itu, banyak mahasiswa Delft meramalkan Yogi bakal lulus cum laude. Mengingat, ia dikenal brilyan sejak masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Yogi lulus cum laude sarjana teknik penerbangan.

Ketika menempuh program master di Universitas Delft pun, ia lulus cum laude. Sayang, saat menempuh ujian doktor, ia tak bisa mengukir prestasi yang sama. Yogi lulus doktor mamematika terapan dengan predikat sangat memuaskan. Toh, itu tak membuatnya kecewa.

Keberhasilan Yogi memecahkan rumus Persamaan Helmholtz adalah tonggak penting bagi ilmu pengetahuan dan pengembangan teknologi. Hasil temuannya dapat diterapkan dalam sejumlah bidang. Salah satunya, bisa digunakan untuk mempercepat pencarian sumber-sumber minyak bumi.

Ia mampu memecahkan Persamaan Helmholtz yang rumit, setelah mendalaminya selama empat tahun. “Saya harus menyelesaikan Persamaan Helmholtz secara numerik,” tutur Yogi. Dengan riset yang menghabiskan dana hampir Rp 6 milyar itu, ia berhasil mengembangkan metode
perhitungan lebih cepat.

Hasil temuannya disambut hangat oleh pakar matematika dari pelbagai negara. Sehari setelah keberhasilannya dipublikasikan, Yogi mendapat ucapan selamat dari para profesor matematika di perguruan tinggi ternama di Eropa, Amerika, dan Israel. “Ini di luar perkiraan saya,” katanya.

Tak hanya itu. Yogi pun menjadi buruan media. Salah satunya, ia diminta mengisi acara talk show ilmu pengetahuan di Radio Nederland yang disiarkan secara langsung ke seantero jagat. Permintaan wawancara dari sejumlah televisi asing pun mengalir.

Lantaran izin tinggal di Belanda sudah mepet, Yogi tak dapat memenuhi semuanya. Kehadirannya diwakili salah satu pembimbingnya, Prof. Kess Vuik. “Berdasarkan respons yang kami terima dari kalangan industri dan universitas, temuan ini berhasil memecahkan masalah yang telah berumur 30 tahun,” kata Prof. Vuik.

Perusahaan minyak internasional, Shell, mengakui bahwa temuan Yogi dapat membuat metode penemuan minyak bumi 100 kali lebih cepat dari sebelumnya. Selama ini, industri perminyakan memang menggunakan Persamaan Helmholtz untuk mencari ladang minyak di perut bumi (baca: Mencari Minyak Lewat Gelombang).

Hanya saja, komputer para teknokrat perminyakan kesulitan menerapkan Persamaan Helmholtz untuk melacak kandungan minyak. Yogi kemudian berusaha mengembangkan metode perhitungan yang lebih ringkas untuk menginterpretasikan data pengukuran akustik dalam pencarian minyak.

Karena itulah, Shell dan Phillips bersedia membiayai penelitian Yogi. Terlebih lagi, rumusan Yogi ini tak hanya berguna untuk mempercepat pencarian minyak. “Banyak terapan lainnya,” ujarnya. Misalnya, Yogi saat ini sedang bekerja sama dengan Profesor Eli Turkel dari Universitas Tel Aviv, Israel, untuk mengembangkan temuannya guna meneliti efek pantulan (scattering) gelombang akustik oleh benda keras.

Hal yang sama bisa diterapkan untuk peralatan yang menggunakan gelombang elektromagnetik. Misalnya untuk desain pemutar CD/DVD, radar, dan akustik mesin pesawat. “Ada juga seorang peneliti dari Chinese Academic of Science di Beijing yang tertarik mengembangkannya pada bidang meteorologi, ” kata Yogi.

Walau begitu, Yogi tak ingin menyebut temuannya itu sebagai Rumus Erlangga. “Pada dasarnya, tidak ada yang sangat baru dari penelitian saya,” ujarnya merendah. Beberapa ilmuwan sudah mengembangkannya lebih dulu. “Saya hanya menggali lebih dalam berdasarkan konsep-konsep
mereka,” Yogi menjelaskan.

Yang pasti, Yogi kini mendapat banyak pinangan dari perusahaan dalam dan luar negeri. Antara lain perusahaan minyak Shell International. Lembaga Aplikasi Penelitian dan Industri ITB pun memintanya untuk bekerja sama. “Saya juga diajak kerja sama untuk menggarap ladang minyak Cepu,” ucap Yogi.

Semua tawaran itu ditampiknya dengan halus. “Obsesi saya adalah menjadi seorang peneliti,” kata Yogi, yang bercita-cita membangun pusat pengembangan ilmu komputasi dan rekayasa. Dari sanalah ia berharap dapat mengembangkan metodologi numerik sekaligus menerapkannya.

Hatim Ilwan
[Ilmu dan Teknologi, Gatra Nomor 28 Beredar Senin, 22 Mei 2006]

sumber : http://www.gatra. com/artikel. php?id=94649

Sedikit berbeda kali ini, Ilmuwan yang satu ini masih muda dan sudah dianggap matematikawan jempolan. Dua jempol untuk Yogi.


Sumber : http://yandhie.wordpress.com/2008/07/11/kiprah-ilmuwan-indonesia-di-pentas-dunia/



0 komentar:

Posting Komentar

Related Post

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More